Rasanya namanya sudah tidak asing lagi di kalangan mahasiswa Indonesia, Masjid Salman ITB. Masjid yang berlokasi di Jl. Ganesa no.7, ternyata merupakan masjid kampus pertama di Indonesia. Dengan ciri khas bangunan masjid ini adalah tanpa kubah masjid dan tiang di ruang utamanya. Siapakah arsitek yang berada di balik perancangan masjid ini?
BERBAGAI masjid telah dibangunnya, berjuta umat menikmati kekhusyukan menghadap Ilahi di dalamnya, namun kakek tujuh cucu dan ayah empat anak ini seperti tak kenal pensiun. Di usia 79, kesibukan Prof. Achmad Noe'man masih juga di sekitar masjid. "Tapi sekarang saya lebih senang membuat kaligrafi untuk ornamen masjid," kata kolektor berat piringan hitam musik jazz itu.
Sejak 1948, Noe’man aktif berdiskusi dengan kakaknya -Dekan Fakultas Teknik ITB- (alm) tentang pentingnya keberadaan masjid di kampus. Sulitnya ketika hendak menunaikan sholat wajib apalagi sholat jum’at, terlebih saat itu di ITB masih banyak orang Belanda bahkan rektornya juga seorang Belanda.
Untuk mewujudkan rencana pembangunan masjid kampus, tahun 1958 dibentuklah panitia dengan Prof. T.M. Soelaiman sebagai ketua dan Noe’man ditunjuk sebagai arsiteknya. Rancangan selesai, panitia mengajukannya ke Rektorat namun ditolak.
Seorang murid Noe’man mengusulkan untuk bertemu Presiden Soekarno melalui pamannya, seorang komandan di Cakrabirawa. Empat orang ; Soelaiman, Noe’man, Ahmad Sadali dan Ajat Sudrajat- ke Jakarta menemui Presiden Soekarno di Istana Negara. Diskusi terjadi cukup alot yang berakhir dengan dukungan Presiden Soekarno dengan membubuhkan tanda tangan beliau pada gambar rancangan. Presiden Soekarno jugalah yang memberi nama “Salman”, Salman Al-Farizi ; karena terinspirasi arsitek perang yang ulung pada zaman Nabi Muhammad saw. Bahkan beliau bersedia menjadi pelindung pembangunan masjid Salman. Setelah itu rektor pun menyetujuinya demikian juga dengan walikota Bandung. Setelah itu dimulailah pembangunan masjid Salman.
Salman adalah teknokrat Iran yang menggagas pembuatan saluran (parit) untuk mempertahankan Madinah saat Perang Khandak.
Ia sering diajak Haji Djamhari membangun masjid. "Karena itu, saya bercita-cita menjadi arsitek," ujarnya. Noe'man mengambil jurusan arsitektur di Fakultas Teknik Universitas Indonesia (pada 1963 berubah menjadi Institut Teknologi Bandung). Sebelum gelar insinyur ia sandang, pada 1958 Noe'man telah menyumbang keahliannya buat sang ayah. Masjid Muhammadiyah Garut merupakan buah karya Noe'man yang pertama.
Namun karya fenomenal pertamanya adalah Masjid Salman, ITB. Tak lama setelah meraih gelar insinyur, Noe'man menjadi asisten Prof. Van Roemondt, dosen arsitektur Islam di kampusnya. Saat itu, masjid masih jarang di sekitar Jalan Ganesha. Karena itu, untuk salat Jumat, Noe'man biasanya bertandang ke Masjid Cipaganti, atau sekitar 2 kilometer dari tempatnya mengajar. Ketika muncul gagasan membangun masjid di Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Noe'man-lah yang kebagian tugas mengarsiteki.
Salman didirikan di lahan bekas kebun tak lebih satu dari hektare, persis di seberang kampus. Mulai dibangun pada 1964. Dan butuh waktu delapan tahun hingga resmi dibuka oleh Rektor ITB Prof. Dr. Doddy Tisna Amidjaja, pada 5 Mei 1972. "Sebetulnya sampai sekarang pun Masjid Salman belum selesai, masih terus dilakukan pembangunan secara bertahap," kata Noe'man. Masjid berukuran 35 x 35 meter ini terbuat dari konstruksi beton, satu lantai. Hanya di bagian belakang ada mezanin (lantai) untuk salat wanita atau pengajian.
Dan seperti direncanakan, tak tampak kubah di sana. Malah atap masjid seperti dua tangan raksasa yang sedang berdoa membuka ke langit. Satu-satunya ciri rumah ibadah kaum muslim itu hanyalah menara yang menjulang tinggi. Masjid Salman, menurut Noe'man, boleh dibilang tanpa ornamen. Sangat polos. ''Saya ingin manfaat sesuai fungsi, harus adil, dan proporsional. Tulisan-tulisan tanpa guna dihindari,'' Noe'man menambahkan.
Mimbarnya pun sangat sederhana, hanya tiang lurus yang tingginya sedada orang dewasa, ditambah meja datar untuk tempat catatan khatib saat khutbah yang terbuat dari kayu jati. Untuk menuju mimbar, ada tiga titian. Namun kesederhanaan itu mengantarkan Noe'man mendapat penghargaan arsitektur bergengsi, Aga Khan Award. Namanya pun tercantum dalam buku The Mosque, yang terbit seiring dengan penganugerahan itu.
Di situlah Noe'man muda menunjukkan gaya arsitektur nyeleneh. Masjid tanpa kubah dan tanpa tiang penyangga. Padahal, saat itu kubah seolah sebuah keharusan untuk sebuah masjid besar. Rasanya, tanpa kubah tidak sempurnalah bangunan sebuah masjid. Lalu, kenapa tanpa kubah? ''Saya mengambil 'api'-nya Islam,'' kata Noe'man.
Mendesain masjid kini ia serahkan pada Biro Arsitektur Achmad Noe'man (Birano), yang didirikannya hampir setengah abad silam. Birano dipegang oleh anak ketiganya, Fauzan Noe'man, arsitek lulusan Rhode Island School of Design. Noe'man mewariskan kecintaan pada rumah Allah itu kepada empat anaknya, seperti ia terima warisan itu dari ayahnya: H.M. Djamhari, saudagar batik dan tokoh Muhammadiyah Garut, Jawa Barat.
Setelah menyimak Al-Quran dan hadis, Noe'man mengaku tidak menemukan ketentuan khusus mengenai kubah dan tiang masjid. Petunjuk yang rinci hanyalah ihwal salat. Dia lalu merujuk sabda Rasulullah Muhammad SAW yang artinya, "Salatlah kamu seperti salatku." Dalam salat berjamaah, misalnya, imam harus punya tempat tersendiri di depan. Sementara jamaah berdiri tertib bersaf-saf di belakangnya.
Keteraturan seperti ini tentu memerlukan ruangan yang lapang, lega, tanpa kehadiran "sosok" lain yang bisa menghalangi ketersambungan saf. Karena itulah, ia berijtihad, tiang di dalam masjid sebisa mungkin dihilangkan.
Kubah masjid, lanjutnya, bukan identitas masjid. Struktur atap menggelembung, konstruksi gaya arsitektur Bizantium, ini memang bisa dilihat pada Masjid Aya Sofia di Istanbul, Turki, yang terkenal dengan kubah birunya. Namun Aya Sofia tadinya berfungsi sebagai gereja. Gedung Capitol di Washington, Amerika Serikat, bahkan Kremlin di Moskow, berkubah.
Sekitar tahun 1975, Jenderal Muhammad Yusuf, tokoh karismatis dari Sulawesi Selatan, meminta Noe'man membangun Masjid Al-Markazi di Makassar. Al-Markazi juga dibangun tanpa kubah. "Tapi atapnya merupakan 'atap susun', selain untuk menarik perhatian, juga supaya cahaya masuk," kata Noe'man. Masjid yang megah ini dibangun satu lantai, dan ada mezanin di belakang. Mirip Salman. Bedanya, di keempat pojok bangunan masjid terdapat tiang. Pada tiang bagian depan terdapat tangga sebanyak 85 titian. Al-Markazi pun mendapat Aga Khan Award.
Setelah membuat Masjid Salman dan Masjid Al-Markazi, Achmad Noe'man sempat dicap sebagai arsitek "anti-kubah". Sekitar tahun 1980-an, Noe'man membuat masjid berkubah, yaitu At-Tin di TMII, Jakarta. At-Tin dibangun seefisien mungkin. Pembangunan kubah menggunakan teknologi struktur baru, yaitu "space frame", konstruksi yang dibuat dari batang-batang baja, sehingga ringan, kuat, dan gampang dalam pembangunannya. ''Di sini saya memberi kesempatan bagi yang mendambakan kubah,'' ujar Achmad Noe'man. Kebalikan dari Salman, masjid berukuran 60 x 60 meter itu dibuat penuh ornamen.
Mimbarnya terbuat dari kayu berukir, yang dilengkapi tangga dari beton. Bagian atap masjid yang bentuknya dome (kubah) dihiasi kaca patri berwarna. ''Kalau melihat ke langit-langit masjid pada siang hari, sinar matahari masuk, dan terjadilah permainan cahaya yang sangat mengasyikkan," katanya. Pada malam hari, "Sinar lampu yang keluar menyinari kaca patri, sehingga menghasilkan cahaya yang indah,'' Noe'man menambahkan. Memasukkan ornamen kaca patri dalam Masjid At-Tin diilhami oleh surat An-Nur, tentang cahaya. Surat ini dikupas oleh banyak sastrawan karena keindahannya.
Salah satu aturan Allah yang menjadi perhatian Noe’man adalah QS. Al-Isra` [17] : 27. ”Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya“. Beliau berupaya agar dalam pembangunan masjid tidak terjadi pemborosan. Beliau juga menyatakan ketidaksetujuannya pada masjid yang terlalu mewah. Akan lebih bermanfaat uang untuk “berhias” itu digunakan untuk keperluan lain.
Achmad Noe’man juga memegang prinsip aqidah Islam dalam membangun masjid. Ketika ada sebuah masjid yang memaksakan dibangun dengan menanam kepala kerbau, Noe’man kemudian memilih mundur, meskipun masjid itu dibangun oleh petinggi negara. Ada satu masjid terkenal di Jakarta, yang Noe’man harus mendatangi sejumlah pejabat dan tokoh Islam untuk meminta pendapat mereka tentang penanaman kepala kerbau. Alhamdulillah, rencana penanaman kepala kerbau itu dibatalkan.
Setelah itu, masjid demi masjid lahir dari tangan Noe'man. Tak kurang dari 50 masjid telah dirancangnya. Namun, kalau diperhatikan dengan saksama, menurut Noe'man, tak ada satu masjid pun yang sama. ''Setiap karya selalu berbeda, tidak ada yang diulang," katanya.
Thanks for reading & sharing E-Suprayogo Blog
0 komentar:
Posting Komentar