Home » , » Masjid Wapauwe Ambon

Masjid Wapauwe Ambon

SEJARAH BERDIRINYA
Masjid Tertua di INDONESIA


Seperti halnya sejumlah wilayah lain di Indonesia yang menyimpan sejarah peradaban agama-agama dunia, Provinsi Seribu Pulau, Maluku juga menyimpan peninggalan sejarah Islam yang masih ada dan tidak lekat dimakan zaman. Di utara Pulau Ambon, tepatnya di Negeri (desa) Kaitetu Kecamatan, Leihitu Kabupaten, Maluku Tengah, berdiri Masjid Tua Wapauwe. 

Islam masuk ke Indonesia melalui para pedagang dari Gujarat, India sekitar abad ke-13 M. Ketika Islam masuk ke Indonesia perdagangan rempah-rempah masih didominasi oleh Cina dan Arab. Para pedagang ini merajai jalur perdagangan yang penting seperti pesisir Sumatra, semenanjung Malaya, Jawa, dan Maluku. 
Di Indonesia bagian timur, Islam mampir lebih dulu ke Maluku sebelum menyebar ke Makassar dan wilayah lainnya di Pulau Sulawesi. Ketika Portugis datang ke kepulauan itu pada 1512 M, Islam telah tersebar di Maluku. Raja Ternate, salah satu kerajaan terbesar di Maluku, Bayang Ullah telah memeluk Islam. 

Diperkirakan, Islam mulai bersemi di Maluku pada tahun 1400-an. Hal ini dibuktikan dengan sebuah masjid yang berdiri selama tujuh abad di Pulau Ambon. Masjid yang terletak di kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah ini merupakan satu bukti sejarah yang menandai perkembangan Islam di Provinsi Seribu Pulau tersebut. 




Mulanya Masjid ini bernama Masjid Wawane karena dibangun di Lereng Gunung Wawane oleh Perdana Jamilu, keturunan Kesultanan Islam Jailolo dari Moloku Kie Raha (Maluku Utara). Jamilu adalah seorang penyiar agama Islam, beliau datang ke Maluku bersama empat perdana lainnya dan tugasnya untuk menyiarkan agama Islam di Maluku ke tanah Hitu sekitar tahun 1400 M, yakni untuk menyebarkan ajaran Islam pada lima negeri di sekitar pegunungan Wawane yakni Assen, Wawane, Atetu, Tehala dan Nukuhaly, yang sebelumnya sudah dibawa oleh mubaligh dari negeri Arab.

Periode kedatangan Empat Perdana Hitu :::

Pendatang Pertama adalah Pattisilang Binaur dari Gunung Binaya (Seram Barat) kemudian ke Nunusaku dari Nunusaku ke Tanah Hitu, tahun kedatangannya tidak tertulis.  Mereka mendiami suatu tempat yang bernama Bukit Paunusa, kemudian mendirikan negerinya bernama Soupele dengan marganya Tomu Totohatu. Patisilang Binaur disebut juga Perdana Totohatu atau Perdana Jaman Jadi.
Pendatang Kedua adalah Kyai Daud dan Kyai Turi disebut juga Pattikawa dan Pattituri dengan saudara perempuannya bernama Nyai Mas.
  1. Menurut silsilah Turunan Raja Hitu Lama bahwa Pattikawa, Pattituri dan Nyai Mas adalah anak dari : Muhammad Taha Bin Baina Mala Mala bin Baina Urati Bin Saidina Zainal Abidin Baina Yasirullah Bin Muhammad An Naqib, yang nasabnya dari Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Rasulullah . Sedangkan Ibu mereka adalah asal dari keluarga Raja Mataram Islam yang tinggal di Kerajaan Tuban dan mereka di besarkan disana (menurut Imam Lamhitu salah satu pencatat kedatangan Empat perdana Hitu dengan aksara Arab Melayu 1689), Imam Rijali (1646) dalam Hikayat Tanah Hitu menyebutkan mereka orang Jawa, yang datang bersema perlengkapan dan hulubalangnya yang bernama Tubanbessi, artinya orang kuat atau orang perkasa dari Tuban. Adapun kedatangan mereka ke Tanah Hitu hendak mencari tempat tinggal leluhurnya yang jauh sebelum ke tiga perdana itu datang. Ia ke Tanah Hitu yaitu pada Abad ke X masehi, dengan nama Saidina Zainal Abidin Baina Yasirullah (Yasirullah Artinya Rahasia Allah) yang menurut cerita turun temurun Raja Hitu Lama bahwa beliau ini tinggal di Mekah, dan melakukan perjalan rahasia mencari tempat tinggal untuk anak cucunya kelak kemudian hari, maka dengan kehendak Allah Ta'ala beliau singgah di suatu tempat yang sekarang bernama Negeri Hitu tepatnya di Haita Huseka'a (Labuhan Huseka'a).
  2. Disana mereka temukan Keramat atau Kuburan beliau, tempatnya diatas batu karang. Tempat itu bernama Hatu Kursi atau Batu kadera (Sekitar 1 Km dari Negeri Hitu). Peristiwa kedatangan beliau tidak ada yang mencatat, hanya berdasarkan cerita turun - temurun.
  3. Perdana Tanah Hitu Tiba di Tanah Hitu yaitu di Haita Huseka'a (Labuhan Huseka'a) pada tahun 1440 pada malam hari, dalam bahasa Hitu Kuno disebut Hasamete artinya hitam gelap gulita sesuai warna alam pada malam hari.
  4. Mereka tinggal disuatu tempat yang diberi nama sama dengan asal Ibu mereka yaitu Tuban / Ama Tupan (Negeri Tuban) yakni Dusun Ama Tupan / Aman Tupan sekarang sekitar lima ratus meter di belakang Negeri Hitu, kemudian mendirikan negerinya di Pesisir Pantai yang bernama Wapaliti di Muara Sungai Wai Paliti.
  5. Perdana Pattikawa disebut juga Perdana Tanah Hitu atau Perdana Mulai artinya orang yang pertama mendirikan negerinya di Pesisir pantai, nama negara tersebut menjadi nama soa atau Ruma Tau yaitu Wapaliti dengan marganya Pelu.
Kemudian datang lagi Jamilu dari Pemerintah Jailolo. Tiba di Tanah Hitu pada Tahun 1465 pada waktu Magrib dalam bahasa Hitu Kuno disebut Kasumba Muda atau warna merah (warna bunga) sesuai dengan corak warna langit waktu magrib. Mendirikan negerinya bernama Laten, kemudian nama negara tersebut menjadi nama marganya yaitu Lating. Jamilu disebut juga Perdana Jamilu atau Perdana Nustapi, Nustapi artinya Perdamaian, karena dia dapat mendamaikan permusuhan antara Perdana Tanah Hitu dengan Perdana Totohatu, kata Nustapi asal kata dari Nusatau, dia juga digelari Kapitan Hitu I.
Sebagai Pendatang terakhir adalah Kie Patti dari Gorom (P. Seram bagian Timur) tiba di Tanah Hitu pada tahun 1468 yaitu pada waktu asar (Waktu Salat) sore hari dalam bahasa Hitu kuno disebut Halo Pa'u artinya Kuning sesuai corak warna langit pada waktu Ashar (waktu salat). 
Mendirikan negerinya bernama Olong, nama negara tersebut menjadi marganya yaitu marga Olong. Kie Patti disebut juga Perdana Pattituban, kerena beliau pernah diutus ke Tuban untuk memastikan sistim pemerintahan disana yang akan menjadi dasar pemerintahan di Kerajaan Tanah Hitu.


Masjid Wapauwe berada di daerah yang mengandung banyak peninggalan purbakala. Sekitar 150 meter dari masjid ke arah utara, di tepi jalan raya terdapat sebuah gereja tua peninggalan Portugis dan Belanda yang telah hancur akibat konflik agama yang meletus di Ambon pada tahun 1999 lalu. Selain itu, 50 meter dari gereja ke utara, berdiri dengan kokoh sebuah benteng tua "New Amsterdam". Benteng peninggalan Belanda yang mulanya adalah loji Portugis ini, terletak di bibir pantai ini dan menjadi saksi sejarah perlawanan para pejuang Tanah Hitu melalui Perang Wawane (1634-1643) serta Perang Kapahaha (1643-1646).
Semua peninggalan sejarah tadi menjadi pusaka Marga Hatuwe yang tersimpan di rumah pusaka Hatuwe, yang berjarak 50 m dari Masjid Wapauwe. Rumah pusaka ini dijaga oleh keturunan ke-12 Imam Muhammad Arikulapessy, Abdul Rachim Hatuwe.

Masjid yang masih dipertahankan bentuk aslinya itu berdiri di atas tanah yang disebut Teon Samaiha oleh warga setempat. Letaknya di antara permukiman penduduk Kaitetu dan bentuknya sangat sederhana. Arsitekturnya sangat unik dan bersifat elementer. Masjid ini dibangun tanpa paku yang menyatukan setiap bagian-bagiannya sehingga dapat dibongkar-pasang. Untuk menyambungkan setiap bagian bangunan, perancangnya hanya menggunakan pasak kayu. Konstruksi ini memungkinkan masjid dapat dipindah-pindahkan.

Bentuk masjid ini seperti bujur sangkar dengan ukuran hanya 10 x 10 meter. Ketika pertama kali didirikan masjid ini tidak memiliki serambi. Dalam renovasi dilakukan penambahan serambi yang memiliki ukuran 6,35 x 4,75 m. Dinding masjid ini dibuat dari gaba-gaba, yaitu pelepah sagu yang dikeringkan. Pada renovasi setengah dinding dibuat dengan campuran kapur.

Mihrab masjidnya berukuran 2x2  meter seperti umumnya masjid di Jawa dan Bali. Mimbar masjid terbuat dari kayu yang bentuknya seperti kursi. Ukurannya cukup tinggi sehingga mimbar ditambahi anak tangga. Pada bagian atasnya dihiasi lengkungan dan ukiran kayu. Bedug terbuat dari gelondongan kayu utuh dengan diameter 2 m. Bedung diikat dengan rota dan digantung pada balok di atasnya.


Pada bagian dalamnya terdapat ciri khas bangunan joglo, yaitu saka guru. Saka guru adalah empat pilar yang terletak di tengah bangunan tradisional Jawa. Atapnya juga dipengaruhi oleh bangunan Jawa, yaitu berupa atap tajug bertingkat. Saka guru menggunakan kayu dengan ukuran 22 x 22 cm persegi. Di atas saka guru terdapat atap piramida dengan kemiringan yang cukup tajam, lalu diikuti di bawahnya dengan atap yang kemiringannya landai, persis seperti atap bangunan tradisional Jawa. Atapnya dibuat dari daun rumbia. Puncak menara terbuat dari kayu yang berbentuk silindris dengan alur-alur dan molding.

Di antara atap di atas dan atap yang di bawah terdapat lubang jendela yang berfungsi sebagai ventilasi udara. Bagian paling bawah atapnya menjorok ke luar dan membentuk sebagian dari elips seperti daun. Di setiap ujungnya terdapat ukiran bertuliskan kata ‘’Allah’’ dan ‘’Muhammad’’.

Di dalam masjid ini tersimpan mushaf Alquran yang diperkirakan menjadi mushaf tertua di Indonesia. Mushaf tersebut adalah ditulis tangan oleh Imam Muhammad Arikulapessy dan selesai pada 1550. Mushaf ini ditulis tanpa iluminasi. Di masjid ini juga terdapat Mushaf Nur Cahya yang selesai ditulis pada 1590 tanpa iluminasi dan ditulis tangan pada kertas Eropa. Mushaf kedua ini ditulis oleh cucu Imam Arikulapessy.


Karya Nur Cahya lain yang terdapat di masjid tersebut adalah Kitab Barzanzi, yaitu syair pujian kepada Rasulullah SAW; sekumpulan naskah khotbah seperti  naskah khotbah Jumat pertama Ramadhan 1661, kalender Islam tahun 1407 M, dan manuskrip Islam lain yang sudah berumur ratusan tahun.
                                                         
Karena kedatangan Belanda ke tanah itu pada 1580, membuat masjid Wapauwe sempat mengalami perpindahan tempat. Sebelum pecahnya Perang Wawani Belanda sudah mengganggu kenyamanan penduduk di lima kampung di kecamatan tersebut dalam beribadah. Karena fleksibilitasnya masjid ini dipindahkan ke Kampung Tehala yang terletak 6 km di timur Wawane pada 1614.

Ketika masjid tersebut dipindahkan ke Kampung Tehala, bangunan itu direkonstruksi di sebuah tempat yang banyak ditumbuhi pohon mangga hutan (mangga berabu), yang dalam bahasa Kaitetu disebut dengan wapa. Dan jika ada daun dari pepohonan di sekitar tempat itu gugur, secara ajaib tak satupun daun yang jatuh diatasnya. Tempat kedua masjid ini berada di suatu daratan dimana banyak tumbuh pepohonan mangga hutan atau mangga berabu yang dalam bahasa Kaitetu disebut Wapa. Itulah sebabnya masjid ini diganti namanya dengan sebutan Masjid Wapauwe, artinya masjid yang didirikan di bawah pohon mangga berabu.

Pada 1646, Belanda menguasai seluruh Tanah Hitu. Belanda kemudian melakukan penurunan penduduk dari daerah pegunungan, termasuk lima kampung di wilayah Wawane. Pada 1664 ditetapkanlah berdirinya Negeri Kaitetu.

Masjid Wapauwe mengalami renovasi beberapa kali. Pertama kali masjid ini direnovasi oleh pendirinya, Jamilu pada tahun 1464 tanpa mengubah bentuk aslinya. Meskipun mengalami dua kali pemindahan, bangunan asli tetap dipertahankan. Renovasi kedua dilakukan pada abad ke-19 M dengan penambahan seambi depan di bagian timur masjid.
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, masjid ini mengalami perbaikan besar-besaran. Yang pertama terjadi pada Desember 1990 hingga Januari 1991 dengan mengganti 12 tiang kolom penunjang dan balok penopang atap.


Pada 1993 dilakukan renovasi dengan mengganti balok penadah kasau dan bumbungan, namun tidak mengganti empat tiang sebagai kolom utama. Pada 1995 juga sempat juga terjadi renovasi masjid, yaitu penggunaan semen PC pada atap masjid yang sebelumnya hanya menggunakan kerikil. Pada 1997, masjid yang tadinya beratapkan seng diganti menjadi atap nipah. Atap ini diganti setiap lima tahun sekali.

Meskipun telah mengalami beberapa kali pemindahan dan perbaikan, arsitektur inti Masjid Wapauwe tetap dipertahankan, sehingga masjid ini menjadi situs sejarah paling penting di Maluku. Masjid yang sampai hari ini masih digunakan untuk kegiatan ibadah sehari-hari ini menjadi salah satu masjid tertua di Indonesia.

Thanks for reading & sharing E-Suprayogo Blog

Previous
« Prev Post

0 komentar:

Posting Komentar

Site Info

My Ping in TotalPing.com